Bersyukur dalam Bubur
Bubur sumsum, bisa juga disebut
jenang oleh kebanyakan orang, adalah makanan yang berasal dari tepung beras. Makanan
berwarna putih dengan tekstur halus ini diberi air gula merah atau gula jawa
sebagai pelengkapnya. Tapi, jangan mencari sumsum meski namanya adalah bubur
sumsum. Tidak ada sumsum, karena sumsum adalah penyebutannya karena tampilan
makanan ini sekilas mirip dengan sumsum.
Makanan ini bukan sekadar makanan untuk
dimakan secara biasa. Dalam tradisi Jawa, bubur sumsum menjadi semacam ritual
adat. Umumnya, makanan ini selalu disajikan setelah selesainya acara, sebagai sebuah
ungkapan syukur, atau selamatan penyebutannya. Biasanya disiapkan setelah
selesainya acara, seperti seusai acara pernikahan, selamatan ibu yang baru
melahirkan, juga dalam pembubaran suatu kepanitiaan.
Bukan hanya kopi yang punya
filosofi. Bubur pun punya filosofi. Seperti yang dituliskan dalam alinea
sebelumnya, bubur sumsum adalah sebuah wujud dari rasa bersyukur. Lebih dari
itu, bubur sumsum memiliki berbagai filosofi atau makna. Bubur sumsum adalah
simbol kesederhanaan, juga pemersatu, dalam hal ini membuang sekat-sekat
pemisah kasta.
Dalam ritual adat, sebagai acara
selamatan bubur sumsum dihadirkan untuk dikonsumsi semua orang yang ikut
berbahagia dan bersyukur, tanpa terkecuali dan tidak membatasi. Orang kaya dan
orang miskin, yang berjabatan dan tidak berjabatan, berjabatan rendah atau
tinggi, semua tetap sama, tetap mengonsumsi bubur sumsum.
Sebagai simbol kesederhanaan, bubur
sumsum mengajarkan nilai bahwa berbahagia dan bersyukur tidaklah perlu mewah
dan mahal. Lihatlah bubur sumsum ini. Bisa dibilang ini adalah makanan yang
sangat sederhana dan mungkin terlihat seperti untuk golongan kasta rendah. Dari
bahan dasarnya saja, hanya dari beras, yang merupakan hasil bumi dari tanah
kita sendiri. Kalau menyinggung soal ini, beras yang berasal dari padi, terasa
sangat ndeso. Yang langsung
terbayangkan adalah hamparan tanaman padi di sawah bukan?
Semakin terlihat sederhana, dengan
tampilannya yang putih polos. Meski dengan adanya tambahan air gula jawa,
seperti tidak menaikkan derajatnya agar tidak sederhana dan ndeso. Bahkan, daya tarik dan
tampilannya masih kalah dari sajian mi instan. Terkadang ada juga daun pandan
yang menjadi hiasan. Tapi, itu hanya untuk hiasan, bukan untuk dimakan.
Tetapi, bukankah itu wujud dari
mensyukuri kekayaan dan hasil bumi kita sendiri. Tidak ada bahan impor dari
bahan-bahan yang diolah menjadi bubur tersebut. Beras, gula merah, atau bahkan
pandan sebagai hiasannya, semuanya hasil alam. Lupakan dulu kalau negara ini
juga mengandalkan impor beras dari negara tetangga. Lebih baik ingat bahwa kita
juga punya hasil bumi sendiri, dari tanah yang kita diami sekarang.
Oh iya, untuk tempat penyajiannya sendiri
juga bisa menggunakan daun pisang sebagai pengganti mangkuknya, begitu juga
sendoknya. Itu tradisi yang masih digunakan hingga saat ini. Itu pun kalau
dimaknai juga ada nilai baiknya. Selain kesederhanaan dan mensyukuri anugerah
alam, bisa untuk mengurangi penggunaan plastik. Coba kalau menggunakan mangkuk
plastik dan juga sendok plastik, bisa jadi setelah makan langsung dibuang
begitu saja. Masih mending kalau dibuang ke tempat sampah, biasanya kan dibuang
sembarangan. Betul? Kalau iya, berarti sudah mengurangi nilai-nilai kebaikan
dari filosofi bubur sumsum itu sendiri.
Karena itu, marilah kita memaknai
berbagai makna dan nilai-nilai yang diajarkan bubur sumsum kepada kita.
Kebahagiaan dalam kesederhanaan, selalu mengucap syukur dalam setiap peristiwa,
selalu menjaga persatuan, tidak membedakan golongan, hingga menjaga kelestarian
alam. Bubur sumsum, atau yang juga disebut bubur lemu di daerah Solo, telah
mengajarkan kepada kita berbagai kebaikan tersebut.
Tetaplah bersyukur dalam bubur!
Semoga usai pemilu dan pilpres nanti, presiden yang terpilih mengadakan jamuan
makan bubur sumsum, ya!
________________________________________
Artikel ini juga saya terbitkan di KOMPASIANA.
Komentar
Posting Komentar
Silakan beri komentar, saran, atau kritik