Konsep Diri Mantan Napi dan Stigmatisasinya di Masyarakat*
Narapidana atau biasa disingkat napi, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang hukuman (orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana); terhukum. Karena narapidana dihukum pidana, maka tentu saja orang tersebut pernah mengalami tindak pidana atau melanggar peraturan atau norma yang berlaku di masyarakat, lebih khusus lagi peraturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah, baik pemerintah daerah atau pemerintah pusat (negara). Narapidana bisa ditahan di lapas (lembaga pemasyarakatan) karena pelanggaran berbagai hal, seperti pencurian, perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, hingga korupsi.
Narapidana dihukum agar orang
tersebut merasakan efek jera, akibat perbuatan yang ditimbulkannya, sehingga
ketika setelah masa tahanannya habis, dia akan jera, menyesal, dan tidak akan
mengulangi perbuatannya lagi, karena selain akan merugikan orang lain, juga
akan merugikan dirinya sendiri. Risikonya adalah ia masuk penjara lagi. Selain
itu, ia pasti akan dikucilkan di masyarakat, karena stigma orang yang sudah
pernah masuk penjara menjadi napi, yang muncul adalah stigma negatif, apalagi
jika orang tersebut sudah berkali-kali masuk penjara. Lalu, selanjutnya mantan
narapidana juga akan susah mendapatkan pekerjaan, karena dia sudah pernah
menjadi narapidana, yang tentu saja menimbulkan ketidakpercayaan oleh
perusahaan yang akan menerimanya, bahkan sekalipun jika kedua pihak tersebut
tidak saling mengenal sebelumnya. Dari paparan singkat ini saja, sudah terlihat
jelas begitu luar biasanya dampak menjadi narapidana atau pernah dipenjara. Hal
ini sekaligus menjadi alarm atau peringatan bagi semua orang, terutama yang
bukan narapidana, agar tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan
atau norma sosial yang berlaku di masyarakat, agar tidak merasakan penderitaan
yang dialami oleh narapidana atau mantan narapidana. Hal ini sebagai suatu
pengingat preventif.
Namun demikian, meski
narapidana direnggut hak kemerdekaannya atau kebebasannya di ruang publik,
narapidana juga tetap mendapat hak di dalam ruang jeruji besi. Hal tersebut
diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, atau
biasa disebut secara singkat: UU Pemasyarakatan. Namun, meskipun diberi hak-hak
sebagaimana diatur dalam Undang-undang tersebut, bagaimana mungkin orang akan
memilih hak yang hanya seberapa dan di dalam penjara pula. Bukankah lebih baik
mendapat hak di ruang publik atau masyarakat, yang tentu saja lebih bebas, bisa
menghirup udara segar sekaligus bisa melihat dunia luar, daripada mendekam di
dalam penjara sempit dan pengap itu.
Hal-hal tersebut juga merupakan
konsep diri dalam diri narapidana atau mantan narapidana setelah keluar dari
lembaga pemasyarakatan atau lapas. Bagaimana ia melihat kondisi sebelum, saat
di dalam lapas, hingga setelah keluar dari lapas. Konsep diri dapat dimaknai
sebagai pandangan dan sikap individu terhadap dirinya sendiri. Hal ini
menyangkut berbagai dimensi, seperti dimensi fisik, karakter, dan motivasi.
Mungkin secara dimensi fisik, mantan narapidana melihat dirinya sendiri
berubah, seperti misalnya dulu ketika masih bebas berbadan gemuk, kemudian dia
dipenjara dan setelah dipenjara jadi kurus, yang membuatnya memotivasi diri untuk
tidak akan pernah mengulangi perbuatan jahatnya dan tidak akan pernah masuk
penjara lagi, dikarenakan motivasi diri berupa: benci tubuh kurus—yang sepele
buat orang lain sebenarnya. Selain itu, karena faktor fisik lain, yaitu ketika
di dalam penjara dia seringkali menjadi bulan-bulanan alias sering dipukuli
penghuni penjara lain, itu menjadikannya sebuah motivasi ekstra agar tidak akan
pernah lagi untuk masuk penjara.
Dalam dimensi karakter,
seorang mantan narapidana memiliki dua kemungkinan: akan berubah (menjadi lebih
baik, jera dengan hukuman yang sudah orang itu terima) ketika dia sudah keluar
dari lembaga pemasyarakatan, atau kemungkinan kedua dia akan tetap melakukan
hal yang sama. Jika kita pernah mendengar orang keluar masuk penjara, berulang kali
dipenjara, berarti kemungkinan kedua yang dapat kita simpulkan. Orang-orang
seperti itu sama sekali tidak mengubah karakternya. Banyak faktor yang
mengiringinya, seperti faktor ekonomi misalnya yang membuat seorang pencuri
mencuri berulang-ulang bahkan ketika dia sudah dipenjara tiga kali sekalipun.
Selain faktor tersebut, ada juga faktor komunikasi atau koneksi yang menjadikan
orang semacam itu tidak jera. Ketika orang tersebut dipenjara, dia bisa
mendapat koneksi atau jaringan baru, jadi ketika ketika keluar dari penjara
mereka akan bekerja sama untuk melakukan aksi kejahatannya lagi. Hal ini banyak
sekali terjadi seperti misalnya mantan napi pengedar narkoba, komplotan
pencuri, dan begal.
Sementara itu, di mata
masyarakat, mantan narapidana adalah suatu aib. Bagi masyarakat, pelanggaran
terhadap peraturan, baik itu berupa hukum adat atau juga hukum negara, adalah
hal yang memalukan dan pantas untuk dikucilkan. Stigmatisasi tersebut, oleh
masyarakat dianggap bahwa sekalipun mantan narapidana sudah keluar dari lembaga
pemasyarakatan atau lapas, masih tetap saja menimbulkan kekhawatiran dan bahkan
tidak mau dekat-dekat dengan orang tersebut.
Ada sebuah contoh, seorang
mantan narapidana narkoba sudah bebas dari masa tahanannya. Ketika sudah keluar
dari lapas dan kembali ke lingkungannya, tetangganya tidak mau bergaul
dengannya, atau tidak ada orangtua yang mau anaknya bertemu bahkan berinteraksi
dengan orang tersebut, dengan dalih tidak mau dirinya atau anaknya kemudian
terpengaruh memakai obat terlarang tersebut. Hal ini menjadi diskriminasi bagi
si mantan narapidana tersebut. Secara psikis, dia menjadi malu dan sangat
menyesali perbuatannya. Namun di sisi lain, dia juga dapat menjadi semakin
frustrasi karena diskriminasi tersebut, sehingga mengakibatkan dirinya
terjerumus kembali ke narkotika, sebagai pelarian karena dirinya merasa
kesepian sehingga butuh pendamping yang pada akhirnya dia memilih pendamping
yang salah.
Stigmatisasi masyarakat kepada
para mantan narapidana tersebut bisa juga disebut sebagai labelling. Labelling
merupakan pemberian cap atau label negatif yang diberikan masyarakat kepada
seseorang karena perilaku menyimpang, kemudian individu cenderung akan
melakukan kembali penyimpangan tersebut. Teori ini digagas oleh Edwin M.
Lemert. Lebih lanjut, Lemert menjelaskan dalam teorinya bahwa terdapat proses
di dalamnya. Pertama adalah penyimpangan primer (primary deviation), di mana mantan narapidana melakukan pelanggaran
pertama kalinya. Kedua adalah penyimpangan sekunder (secondary deviation), yaitu ketika orang atau mantan narapidana
tersebut mengulangi perbuatan jahat dan menyimpangnya, karena masyarakat
telanjur mengucilkan sekaligus menyematkan label negatif kepadanya, misalnya
karena sekali mencuri dan masuk penjara, oleh masyarakat mantan napi tersebut
terus-terusan dipanggil “si pencuri” maka mengakibatkan dirinya mengulangi
perbuatannya, juga karena telanjur kehilangan nama baik akibat penyematan label
tersebut. Hal ini kemudian menjadi sebuah gaya hidup menyimpang alias deviant life style.
Contoh-contoh tersebut,
merupakan berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang di masyarakat. Pelanggaran
tersebut adalah planggaran terhadap norma-norma sosial yang sudah melembaga (institutionalization) dan juga mendarah
daging (internalized) di dalam
lapisan masyarakat. Di dalam masyarakat terdapat empat norma yang berlaku,
yakni cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), dan adat-istiadat (custom).
Pelanggaran atas hukum adat
dan hukum negara berakibat sangat fatal bagi individu itu sendiri dan bagi
keluarganya. Maka dengan demikian, pengendalian sosial itu sangat penting, demi
menekan pelanggaran-pelanggaran baik pelanggaran kecil atau pelanggaran berat
di dalam masyarakat dan bernegara. Pengendalian sosial atau juga dikenal dengan
social control, bertujuan untuk
mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam
masyarakat. Dengan kata lain, suatu sistem pengendalian sosial bertujuan untuk
mencapai keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan atau
kesabandingan.
Nyatanya, tiap hari masih ada
saja kejahatan demi kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang di dalam
masyarakat. Pemerkosaan, pembunuhan, pencurian, perampokan-pembegalan, hingga
korupsi, adalah hal-hal yang lumrah kita saksikan dalam tayangan berita
televisi, mudah kita temui dan baca dalam media sosial dan juga media daring. Jika
demikian, apa yang salah? Apakah mungkin orangnya yang sudah tidak peduli
dengan stigmatisasi negatif di masyarakat. Atau mungkin masyarakat sudah
‘membenarkan’ atau ‘biasa’ dengan berbagai tindak menyimpang tersebut.
Ada beberapa hal yang perlu
ditingkatkan dan selalu diterapkan dalam masyarakat agar pengendalian sosial
berjalan dengan baik, supaya kejahatan dan pelanggaran bisa ditekan—kalau bisa
sama sekali tidak ada pelanggaran atau kejahatan—seminimal mungkin. Hal
tersebut seperti: mempertebal keyakinan anggota masyarakat akan kebaikan
norma-norma kemasyarakatan, memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat
yang taat pada norma-norma kemasyarakatan, mengembangkan rasa malu dalam diri
dan jiwa anggota masyarakat bila mereka menyimpang atau menyeleweng dari
norma-norma kemasyarakatan dan nilai-nilai yang berlaku, dan menciptakan sistem
hukum yaitu sistem tata tertib dengan sanksi yang tegas bagi para pelanggar.
*)
Tulisan ini adalah karya tugas kuliah, untuk pembahasan Sosiologi
Komentar
Posting Komentar
Silakan beri komentar, saran, atau kritik