Kognisi Individu Teori Komunikasi

#DiRumahAja
#StayAtHome
Kredit: PIXABAY
 
Kognisi individu dalam teori komunikasi adalah teori yang membahas mengenai proses informasi (information processing theories) yang menjelaskan bagaimana orang berpikir, bagaimana orang mengatur dan menyimpan informasi yang diterimanya dan bagaimana proses untuk menyadari atau mengetahui (cognitive) membantu memberi tingkah laku[1]. Pada dasarnya, teori kognisi individu ini termasuk dalam teori komunikasi sosiopsikologi, karena membahas mengenai pemikiran atau perasaan individu terhadap suatu bentuk komunikasi yang ia terima dari orang lain.

Kognisi individu ini terdiri dari 9 (sembilan) bagian, yaitu:
1.    Teori atribusi
2.    Teori penilaian sosial
3.    Teori kemungkinan elaborasi
4.    Teori integrasi informasi
5.    Teori nilai harapan
6.    Teori tindakan beralasan
7.    Teori disonansi kognitif
8.    Teori kepercayaan, sikap, dan nilai
9.    Teori integrasi bermasalah

Melalui tulisan ini, saya akan memberikan pengertian, penjelasan, bahkan pendapat saya sendiri mengenai teori-teori tersebut, berikut dengan contoh-contohnya akan turut saya sertakan dalam artikel ini. Sumber tulisan-tulisan ini tentu saja berasal dari buku-buku ataupun jurnal terkait—selanjutnya saya tuliskan dalam catatan kaki—yang saya baca. Karena keterbatasan waktu, yakni tenggat waktu dalam penyelesaian tulisan ini dan waktu yang terambil karena pekerjaan tentunya, maka tentulah yang saya baca dan jelaskan ini tidak begitu lengkap, mungkin kurang begitu memberikan informasi seluas-luasnya.

1. Teori Atribusi
Teori atribusi atau attribution theory adalah teori yang menjelaskan dan memberi gambaran mengenai tingkah laku manusia. Teori ini memberikan perhatian bagaimana seseorang sesungguhnya bertingkah laku. Teori atribusi ini menjelaskan bagaimana orang menyimpulkan penyebab tingkah laku yang dilakukan diri sendiri atau orang lain, serta menjelaskan proses yang terjadi dalam diri kita sehingga memahami tingkah laku kita dan orang lain.

Kita dapat menjelaskan mengapa kita mengatakan sesuatu hal dalam berbagai cara. Berbagai hal yang kita bicarakan atau laku yang kita laksanakan dapat muncul karena hanya satu penyebab. Atau juga berlaku sebaliknya, yaitu satu tingkah laku itu dapat muncul karena lebih dari satu penyebab.

Saya memberikan suatu contoh begini: saya memiliki pasangan atau pacar. Awalnya terbilang biasa atau bisa dikatakan baik-baik saja. namun, belakangan ini ada hal yang tidak biasanya terjadi, yakni pasangan saya yang jadi jarang menghubungi bahkan lewat media sosial sekalipun, lalu ia juga ketika diajak bertemu pun susah. Hal yang bertentangan seperti sebelum-sebelumnya di mana pasangan saya selalu menghubungi dan berbagi kabar, dan juga ia selalu mau ketika diajak untuk bertemu untuk sekadar bercakap-cakap. Karena ada hal ‘janggal’ tersebut, secara tidak sadar, saya menggunakan teori atribusi untuk memikirkan hal ini. Tentu, dalam pikiran saya akan menebak-nebak apa yang terjadi dengannya, sampai pikiran yang tidak baik muncul seperti: apakah ia selingkuh, apakah ia tidak peduli dengan saya lagi, dan berbagai pertanyaan yang lainnya di mana pikiran saya menjadi tidak baik. Akan tetapi, bisa saja pasangan saya itu memang sedang dalam masalah tertentu, masalah keluarga misalnya. Makanya ia jadi begitu, tetapi tidak berani menceritakan kepada saya sehingga mengubah kepribadiannya, hanya saja karena pikiran saya yang tidak positif, misalnya. Dalam hal ini, saya sadar tidak sadar telah menggunakan teori atribusi dalam pemikirian saya untuk merespons komunikasi yang berbeda dari sebelum-sebelumnya.

2.    Teori Penilaian Sosial
Teori penilaian sosial bisa disebut juga sebagai social judgement theory. Teori ini memberikan perhatian bagaimana seseorang memberikan penilaian mengenai segala pernyataan yang didengarnya[2]. Teori penilaian sosial ini dikemukakan oleh Carolyn Sherif, Muzafer Sherif, dan Carl Hovland.

Penelitian Sherif mengungkapkan bahwa seorang individu memberikan penilaian untuk menerima atau menolak pesan berdasarkan dua hal, yaitu acuan internal dan keterlibatan ego. Namun demikian, proses penilaian ini dapat menimbulkan distorsi atau penyimpangan.

Saya memberikan contoh yang berkaitan dengan situasi Covid-19 seperti sekarang ini. Apalagi kalau bukan soal lockdown atau juga PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Dalam mengurangi penyebaran virus corona, pemerintah pusat dengan daerah sedikit bertentangan ketika mulai mendengungkan soal lockdown, di mana pemerintah kemudian menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB, alih-alih menerapkan sistem lockdown.

Mengapa dalam penerapan sistem ini terjadi ketidakpahaman? Jawabannya seperti yang saya singgung di paragraf kedua tadi, yakni karena acuan internal dan keterlibatan ego, jika menggunakan teori penilaian sosial. Tentu terlalu berisiko jika menerapkan lockdown di mana pemerintah harus benar-benar menutup wilayah secara masif. Kemudian, ada alternatif berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB untuk mengganti sistem lockdown tersebut. Dalam hal ini, pemerintah turut memperhatikan nasib rakyat dengan menggunakan keterlibatan ego, juga empati.

Jadi, teori penilaian sosial ini memberikan petunjuk bahwa kita tidak selalu sadar sepenuhnya ketika memberikan suatu penilaian terhadap suatu argumen atau isu yang kita terima. Kadang kita memberi perhatian penuh pada suatu isu, namun di sisi lain kita juga tidak memberi perhatian sama sekali pada hal lain.

3.    Teori Kemungkinan Elaborasi
Teori kemungkinan elaborasi atau elaboration likelihood theory (ELT) merupakan teori yang dikembangkan oleh Richard Petty dan John Cacioppo dalam bukunya yang berjudul Communication and Persuasion: Central and Peripheral Routes to Attitude Change[3].

Teori kemungkinan elaborasi pada dasarnya adalah teori mengenai persuasi, karena mencoba memperkirakan kapan seseorang akan mengubah pemikirannya sendiri, berdasarkan informasi atau gagasan yang ia terima dari orang lain atau media tertentu. Individu dapat dengan berpikir kritis ketika mendapat suatu informasi yang diterimanya, akan tetapi, di sisi lain juga dapat berpikir biasa saja ketika ia merasa bahwa informasi yang ia terima itu tidak kuat argumentasinya, ia dengar dari orang yang tidak ia percaya, atau bahkan ia sama sekali tidak tertarik dengan pembahasan yang disampaikan dalam informasi tersebut.

Pikiran orang dalam mengolah informasi yang diterimanya dibagi menjadi dua cara, yaitu memproses informasi yang ia terima dengan jalur sentral (central route), di mana seseorang akan sangat tertarik dan berpikir kritis mengenai informasi yang diterimanya. Kemudian, cara yang kedua ialah dengan jalur periferal (peripheral route). Dalam hal ini, seseorang akan biasa saja dalam menerima informasi dan apa yang dapat memengaruhi si penerimanya juga sangat minimal.

Dalam situasi pandemi Covid-19 ini, teori elaborasi sosial ini juga dapat diterapkan. Sebagaimana kita tahu, bahwa karena efek virus corona ini, perekonomian di Indonesia bahkan di seluruh dunia menjadi hancur dan tidak berjalan semestinya. Maka pada saat inilah sisi kemanusiaan menjadi lebih penting, bukan malah sibuk mengurus RUU Cipta Kerja yang digembor-gemborkan oleh DPR belakangan ini. Saya kira, mereka lebih berpikir menggunakan jalur periferal daripada jalur sentral.

4.    Teori Integrasi Informasi
Teori integrasi informasi (information-integration theory) masuk dalam ranah tradisi sibernetika. Teori tradisi sibernetika sendiri adalah suatu teori yang mempelajari komunikasi berdasarkan proses yang terjadi dalam otak dan sistem syaraf manusia.

Teori integrasi informasi memfokuskan perhatian pada cara komunikator mengumpulkan dan mengatur informasi mengenai orang lain, benda-benda, situasi, serta ide-ide untuk membentuk sikap[4].

Dalam teori ini, kognisi menjadi penting karena kognisi ialah suatu proses untuk mengetahui dan memahami serta mempelajari sesuatu merupakan suatu sistem interaksi yang mana informasi memiliki potensi memengaruhi kepercayaan atau sikap individu. Informasi yang baru kita terima dapat memengaruhi pemikiran atau gagasan kita untuk menyikapi sesuatu.

Namun demikian, informasi tersebut tidak langsung memengaruhi kita, karena pada dasarnya kita akan memproses terlebih dahulu informasi yang kita terima tersebut. Seperti saya sebutkan sebelumnya, ada hal yang memengaruhi kita dalam menerima hal baru tersebut, yaitu bisa jadi karena tidak percaya dengan yang mengemukakan informasi dan karena acuhnya kita terhadap informasi tersebut karena merasa tidak penting. Namun, suatu informasi bisa jadi langsung dicerna mentah-mentah dan diterima, jika diucapkan oleh yang ia percaya. Misalnya saja begini, karena saya sangat percaya kepada pendeta dan yakin bahwa ia akan selalu berkata benar, maka suatu saat ketika pendeta tersebut mengatakan suatu hal yang bertentangan dengan hal baik, maka bisa jadi saya akan terpengaruh karena pada dasarnya saya sudah mengklaim dari awal bahwa pendeta tidak pernah salah.
5.    Teori Nilai Harapan
Teori nilai harapan atau exceptancy-value theory dikemukakan oleh Martin Fishbein, salah seorang pendukung teori informasi integrasi, yang kemudian ia kembangkan menjadi teori nilai harapan ini.

Menurut teori nilai harapan ini, perubahan sikap dapat terjadi karena tiga faktor. Pertama, karena faktor informasi. Dalam hal ini, informasi dapat mengubah tingkat atau bobot kepercayaan yang sudah ada sebelumnya. Kedua, informasi dapat mengubah arah dari suatu kepercayaan. Ketiga, informasi juga dapat menambahkan kepercayaan baru ke dalam struktur sikap.

Dalam mempelajari teori ini, kita harus mempelajari terlebih dahulu mengenai kepercayaan, sebagaimana Martin Fishbein dalam mempelajarinya. Kepercayaan sendiri menurut dia terbagi menjadi “percaya kepada sesuatu” dan “kepercayaan mengenai.” Kemudian, ia menjelaskannya lebih lanjut menjadi: perasaan yang dimiliki mengenai adanya hubungan khusus antara dua hal.

Kepercayaan ini dalam teori nilai harapan saling memiliki hubungan khusus antara keduanya, sehingga memunculkan adanya suatu harapan. Saya memiliki kepercayaan, bahwa untuk lulus kuliah tepat waktu dengan status cumlaude itu bakal susah, terlebih lagi saya kuliah sambil bekerja. Dengan demikian, waktu saya dalam belajar, membaca buku, hingga mengerjakan tugas-tugas kuliah menjadi sedikit, karena harus membagi fokus saya menjadi dua, atau bahkan lebih jika kemudian saya memiliki fokus hal lain. Susah memang, saya yakin dan sudah merasakannya. Namun, saya tetap percaya saya bisa melakukannya. Dari sini seolah saya memiliki dua hal kepercayaan, yaitu kepercayaan pada ketidakmampuan saya alias rasa pesimistis, namun dalam hati dan juga tekad, saya punya harapan karena saya yakin bahwa bisa melakukannya: bekerja, lulus tepat waktu plus dengan status cumlaude. Jadi, hal ini bisa juga saya gunakan dengan pendekatan teori nilai harapan, termasuk pada diri sendiri.

6.    Teori Tindakan Beralasan
Jika sebelumnya ada teori nilai harapan, maka teori tindakan beralasan ini adalah pengembangan dari teori tersebut. Yang mengembangkan teori ini adalah Icek Ajzen dan juga Martin Fishbein. Teori ini juga termasuk dalam tradisi sibernetika.

Dalam teori ini, dikemukakan bahwa niat atau kehendak seseorang untuk melakukan tindakan tertentu akan ditentukan oleh sikapnya terhadap tindakan itu sendiri serta beberapa kepercayaan mengenai bagaimana orang lain menginginkan ia bertindak atau suatu saran dari orang lain.

Berdasarkan teori ini, saya akan memberikan suatu gambaran, agar kiranya bisa lebih mudah dipahami: Jika saya adalah seorang presiden, sudah tentu saya akan membuat peraturan atau kebijakan-kebijakan tertentu untuk kepentingan orang banyak dan untuk keberlangsungan negara. Nah, dari situ tidak mungkin juga saya selalu mengerjakan sesuatunya sendiri. Dalam pengambilan sikap atau dalam membuat kebijakan, jelas saya akan mendengarkan saran-saran dari lembaga legislatif, dan lebih khusus lagi harus mendengarkan aspirasi rakyat. Kemudian, saya juga mempunyai pertimbangan sendiri untuk mem-final-kan kebijakan tersebut.

Kalau saya mempunyai sikap dukungan terhadap suatu usulan kebijakan yang diberikan kepada saya, tetapi juga banyak rakyat yang mendesak saya untuk membatalkan atau tidak mengesahkan usulan tersebut (lihat contoh penolakan omnibus law), maka ada kemungkinan saya akan lebih mendengar aspirasi dari rakyat, alih-alih mengesahkan peraturan atau kebijakan tersebut, tentu saja dengan mempertimbangkan berbagai pemikiran mengenai nasib rakyat yang di kemudian hari akan merasakan akibat kebijakan tersebut. Padahal dalam hati saya sendiri akan mengesahkan peraturan atau kebijakan tersebut, karena saya sendiri juga setuju, yang kemudian pada akhirnya saya lebih mendengarkan rakyat banyak, daripada ego sendiri.

7.    Teori Disonansi Kognitif
Istilah teori disonansi kognitif pertama kali dipopulerkan oleh seorang psikolog bernama Leon Festinger pada tahun 1950-an[5]. Teori ini merupakan sebuah teori yang membahas mengenai perasaan ketidaknyamanan seseorang akibat sikap, pemikiran, dan perilaku yang saling bertentangan dan memotivasi seseorang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut.

Dalam kehidupan sehari-hari, teori disonansi kognitif ini dapat menganalisa berbagai peristiwa. Salah satu hal yang dapat kita pelajari dengan menggunakan teori ini yaitu ketika kita bekerja di suatu perusahaan dan kita tidak betah dengan pekerjaan tersebut, namun kita tetap bekerja dan bertahan di perusahaan tersebut, karena gaji yang ditawarkan besar.

Dari kasus ini, kita dapat mencermati bahwa jika kita bekerja namun tidak mempunyai semangat di pekerjaan itu, maka terjadilah disonansi kognitif. Dalam hal ini, antara hati dan motivasi menjadi bertentangan sehingga menimbulkan ketidaknyamanan. Dalam hati dan pikiran, kita tidak suka dan bosan dengan pekerjaan yang begitu-begitu saja, plus kita akan berpikiran lebih baik mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan passion atau mungkin kita akan mulai berbisnis.

Namun, kompensasi berupa gaji yang besar itu menjadi motivasi tersendiri, sehingga kita semakin memperkuat pemikiran bahwa lebih baik bertahan di tempat kerja yang sekarang ini. Apalagi jika kita memperkuat pemikiran kita bahwa jika setelah keluar dari pekerjaan sekarang, kemudian mencari pekerjaan lain itu akan sulit, mengingat semakin banyak orang mencari pekerjaan sementara lapangan pekerjaan semakin sedikit pula. Maka, pemikiran ini juga akan makin menguatkan diri kita agar sebisa mungkin bertahan di pekerjaan sekarang, meski ada kebosanan. Namun, kemudian kita pasti akan berusaha mencari cara agar kebosanan itu hilang, supaya semangat bekerja di perusahaan itu menjadi hadir kembali.

8.    Teori Kepercayaan, Sikap, dan Nilai
Teori ini dikemukakan oleh Milton Rokeach.  Ia menggagas teori ini karena berhasil mengembangkan suatu penjelasan yang luas mengenai tingkah laku manusia berdasarkan kepercayaan (belief), sikap (attitudes), dan nilai (value). Rokeach meyakini bahwa setiap orang memiliki sebuah sistem keyakinan, sikap dan nilai yang sangat teratur yang menjadi panduan perilakunya[6].

Menurut Rokeach, kepercayaan dan sikap adalah dua hal yang sangat penting. Sikap terdiri dari dua hal, yakni: “sikap terhadap obyek” dan juga “sikap terhadap situasi.” Tingkah laku seseorang dalam situasi tertentu merupakan fungsi dari kedua sikap tersebut. Menurut Rokeach, nilai merupakan yang paling penting.

Teori kepercayaan, nilai, dan sikap ini dapat saya ilustrasikan agar mudah dimengerti. Jika Anda adalah orang yang suka berbagi kepada sesama, maka Anda pasti akan memiliki kepercayaan pada hal yang Anda lakukan itu. Saya yakin Anda akan berpendapat bahwa berbagi atau bersedekah kepada sesama adalah hal mulia. Dalam hal ini, terdapat tiga hal: kepercayaan, sikap, dan nilai.

Anda mempunyai kepercayaan, bahwa dalam ajaran agama manapun pasti ada ajaran untuk berbagi dan mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri sendiri. Selain itu, bisa juga Anda yakin bahwa dengan berbagi itu sama saja dengan bersyukur kepada Tuhan, karena merasa diri sendiri sudah cukup diberkati dengan makanan ataupun kebutuhan lainnya, maka Anda berpikir perlu berbagi rasa syukur itu kepada orang lain, terutama kepada mereka yang lebih membutuhkan, yang bahkan tidak bisa makan sehari tiga kali misalnya.

Kemudian, berlanjut ke sikap. Anda akan berbagi kepada sesama, entah bagaimana caranya. Bisa secara individu memberikan makanan nasi kotak yang dapat jatah lebih dari kantor, yang dibagikan kepada pengemis yang kebetulan ketemu di jalan ketika pulang bekerja. Bisa juga secara kelompok, misalnya ketika ada bakti sosial di kampus bersama para mahasiswa lain yang kemudian iuran untuk membeli nasi bungkus supaya bisa dibagikan ke panti werdha misalnya.

Dalam hal memberi ini, Anda yakin dan memiliki kepercayaan pada apa yang dilakukan, percaya bahwa ini adalah kebaikan. Maka bisa disebut ini adalah suatu nilai. Kita bisa mengajarkan nilai kebaikan ini kepada orang lain juga, begitu yang dapat kita percaya mengenai nilai kebaikan tersebut.

9.    Teori Integrasi Bermasalah
Teori integrasi bermasalah adalah teori komunikasi yang membahas proses dan dinamika bagaimana orang menerima, mengevaluasi, dan menanggapi informasi dan pengalaman.

Teori yang disebut juga dengan Problematic Integration (PI) ini pertama kali diperkenalkan oleh Austin Babrow pada tahun 1992. Babrow menyatukan literatur yang beragam dan interdisipliner (dari bidang komunikasi dan disiplin terkait, seperti psikologi, sosiologi, dan filsafat) untuk berfungsi sebagai blok bangunan bagi teori barunya. Di antara dasar-dasar teoritis yang mendukung, yaitu: teori pengurangan ketidakpastian; teori kepercayaan pada dunia yang adil; analisis pengambilan keputusan; teori dan motivasi dan harga diri; dan disonansi kognitif[7].

Teori ini bersandar pada tiga hal: Pertama, manusia memiliki kecenderungan alami untuk mendukung harapannya dan juga evaluasinya. Kedua, harapan untuk mengintegrasikan harapan dan evaluasinya tersebut tidaklah mudah dan dapat menimbulkan masalah. Ketiga, integrasi bermasalah mencakup juga komunikasi.

Teori integrasi bermasalah adalah salah satu dari banyak teori membantu kita memahami bagaimana cara komunikator invidu berpikir. Bagaimana mereka mengintegrasikan dan mengelola informasi yang memengaruhi sikap, kepercayaan, serta nilai dan tingkah laku mereka.

Integrasi bermasalah sendiri bisa dibagi-bagi menjadi empat bagian[8]. Yang pertama, integrasi bermasalah bisa terjadi karena adanya perbedaan antara harapan dan evaluasi. Contoh dalam integrasi bermasalah ini ialah ketika melamar pekerjaan. Dalam melamar pekerjaan, kita bisa mengirimkan surat lamaran kepada banyak perusahaan yang membutuhkan karyawan ataupun ke perusahaan yang tidak sedang membuka kesempatan lowongan pekerjaan. Dari sekian banyak lamaran yang kita kirimkan tersebut, ternyata kita justru diterima di perusahaan yang sebenernya bukan bidang atau passion kita. Sedangkan, perusahaan yang kita impikan malah tidak menerima atau bahkan tidak melakukan panggilan wawancara kerja.

Kemudian, integrasi bermasalah karena adanya ambiguitas, yaitu tidak ada atau kurangnya kejelasan mengenai apa yang diharapkan. Misalnya saja, saya adalah orang yang sangat suka olahraga sepakbola. Terkhusus lagi, saya begitu nge-fans kepada Pierre Emerick Aubameyang, seorang pemain sepakbola profesional. Namun demikian, saya rasa tidak mungkin bisa seperti idola saya itu, tentu saja karena ada faktor lain bahwa saya memang tidak rutin bermain sepakbola, sehingga tidak jelas apakah saya bisa seperti idola saya itu, sementara saya sendiri tidak berlatih segiat itu.

Yang ketiga, karena adanya ambivalen atau evaluasi pertentangan. Misalnya begini sebagai contohnya: saya baru masuk kuliah dan saya mempunyai teman baru. Kemudian, teman baru saya itu mengajak saya dan teman mahasiswa yang lain untuk nantinya memberikan iuran rutin yang hasilnya akan digunakan membuka bisnis. Saya setuju-setuju saja dengan ide tersebut, namun bisa saja saya tidak suka dengan orang yang mengusulkan ide tersebut, bisa karena rasa pesimistis saya apakah nantinya akan berhasil atau mungkin gagal. Namun saya menyetujui ide tersebut karena memang pada dasarnya saya akan memulai bisnis juga, dan kebetulan ada yang mengemukakan ide supaya bisa membuka usaha bersama-sama.

Kemudian, yang keempat adalah jika kesempatan bagi sesuatu hal untuk terjadi tidak mungkin terwujud. Tentu saja ini akan menjadi suatu pertanyaan dan keheranan bagi diri sendiri, karena pada dasarnya kita sudah mengetahui kemustahilan ini. Sebagai contoh, di tengah wabah Covid-19 ini, kegiatan kuliah tatap muka diliburkan, namun tagihan pembayaran SPP tetap berlanjut dengan beban biaya normal seperti biasa. Hal ini memicu beberapa mahasiswa untuk melakukan tuntutan agar biaya SPP diturunkan sekian persen. Lalu saya berpikir bahwa boleh saja saya menyuarakan demikian, namun saya juga perlu lebih realistis, bahwa kita adalah mahasiswa tidak memiliki wewenang dalam mengatur kebijakan universitas, karena kampus sudah ada manajemen tersendiri yang mengatur hal tersebut.







[1] Morissan. Teori Komunikasi Individu Hingga Massa. Jakarta. 2013.
[2] Hovland, Carl I.; Sherif, Muzafer. Social judgment: Assimilation and contrast effects in communication and attitude change. Westport: Greenwood. 1980.
[3] Richard Petty dan John Cacioppo. Communication and Persuasion: Central and Peripheral Routes to Attitude Change. Springer-Verlag. New York. 1986.
[4] Littlejohn, hlm. 74
[6] Littlejohn and Foss, 2005:79
[7] Bradac, James J.; “Theory Comparison: Uncertainty Reduction, Problematic Integration, Uncertainty Management, and Other Curious Constructs”, Journal of Communication, September 2001, Vol. 51, No. 3, pp. 456-476.
[8] Morissan. Teori Komunikasi Individu Hingga Massa. Jakarta: 2013.

Komentar

ARTIKEL MENARIK LAINNYA:

Pet Sematary: Kadang Kematian Memang Lebih Baik

Piala Dunia dan Idul Fitri: Sukacita Perayaan Ganda

Akhir Kisah Ajax nan Romantis: Dramatis Sekaligus Tragis