Tradisi Teori Komunikasi
Kredit: Pixabay |
Teori komunikasi dapat didefinisikan sebagai pendekatan teoretis yang paling umum dalam studi komunikasi. Teori komunikasi ini oleh para ahli telah dikelompok-kelompokkan menjadi beberapa bagian. Para ahli atau penemu teori komunikasi tersebut menggunakan suatu pendekatan tertentu untuk mengelompokkan atau menggolongkan teori-teori yang mereka kemukakan.
Berikut ini adalah teori-teori tersebut, sebagaimana dikutip dari buku Littlejohn dan Foss yang berjudul Theories of Humman Communications menjelaskan teori-teori komunikasi sebagaimana ditemukan oleh Robert T. Craig—guru besar ilmu komunikasi dari Universitas Colorado, Amerika Serikat—di mana ia membangun suatu model yang membantu kita dalam menjalani berbagai bidang yang ada dalam ilmu komunikasi yang tujuannya untuk menjelaskan mengenai bagaimana manusia melakukan proses dalam berkomunikasi.
Menurut Robert Craig, ilmu komunikasi memiliki sifat atau ciri-ciri yang selalu diwarnai dengan berbagai teori dan cara pandang atau perspektif, yang menjadikannya penangkapan makna yang berbeda-beda dari setiap orang, dikarenakan perspektifnya itu.
Menurut Robert Craig, teori-teori komunikasi tersebut yaitu:
1. Semiotika
2. Fenomonologi
3. Sibernetika
4. Sosiopsikologi
5. Sosiokultural
6. Kritis
7. Retorika
Dalam pembahasan di tulisan saya ini, saya hanya akan membahas empat saja, yakni Semiotika, Fenomenologi, Sibernetika, dan Sosiopsikologi.
Dalam pembahasan di tulisan saya ini, saya hanya akan membahas empat saja, yakni Semiotika, Fenomenologi, Sibernetika, dan Sosiopsikologi.
1. Semiotika
Teori komunikasi semiotika adalah teori yang mengedepankan tanda atau simbol. Saya tuliskan bahwa mengenai teori pendekatan semiotika adalah sebagai berikut[1]:
- Memfokuskan pada tanda-tanda dan simbol-simbol; memperlakukan komunikasi sebagai jembatan antara dunia privat dari individu-individu dengan tanda-tanda untuk mendapatkan makna.
- Kekuatan semiotika bertumpu pada gagasan-gagasan tentang kebutuhan akan bahasa yang sama, identifikasinya tentang subyektivitas menjadi kendala untuk mencapai pemahaman, dan keterikatannya dengan makna yang beragam.
- Teori-teori semiotika sering bertentangan dengan teori-teori yang menekankan bahwa kata-kata memiliki makna yang tepat, tanda-tanda merepresentasikan obyek atau bahasa yang bersifat netral.
Karena teori semiotika ini adalah lebih mengutamakan tanda-tanda atau simbol-simbol, maka yang berperan penting di sini adalah subyektivitas seseorang. Karena menggunakan subyektivitas, pada akhirnya akan menggunakan intuisi, simpati, dan bahkan empati seorang individu agar dapat mengerti dan memahami dalam menangkap pesan yang didapat dari komunikasi dengan orang lain yang dilakukan melalui simbol atau tanda.
Semiotika menekankan pada tanda atau simbol. Maka, saya kira jika tiap orang memiliki pemikiran yang berbeda-beda, maka tidak akan ada kesamaan pendapat ketika terjadi komunikasi dengan kemampuan tiap orang menangkap simbol atau tanda yang berbeda, yang mengakibatkan tujuan dari komunikasi dalam menyampaikan informasi itu menjadi tidak tercapai.
Saya akan memberikan contoh lain. Dalam sepak bola, di Jerman terdapat dua klub sepak bola yang saling bersaing dan bahkan bermusuhan, yakni Borussia Dortmund dan Bayern Muenchen. Keduanya saling menginterpretasikan simbol masing masing: Borussia Dortmund melambangkan kelas bawah dan para buruh (orang-orang miskin), sedangkan Bayern Muenchen adalah simbol dari kelas atas atau para bangsawan Jerman (orang-orang kaya), di era awal persaingan kedua rival tersebut. Namun, seiring dengan adanya perkembangan zaman, simbol miskin-kaya tersebut sudah tidak relevan lagi di zaman masa kini. Artinya, semiotika menjadi tidak berlaku dalam hal tersebut karena terjadi pergeseran makna.
Semiotika menekankan pada tanda atau simbol. Maka, saya kira jika tiap orang memiliki pemikiran yang berbeda-beda, maka tidak akan ada kesamaan pendapat ketika terjadi komunikasi dengan kemampuan tiap orang menangkap simbol atau tanda yang berbeda, yang mengakibatkan tujuan dari komunikasi dalam menyampaikan informasi itu menjadi tidak tercapai.
Saya akan memberikan contoh lain. Dalam sepak bola, di Jerman terdapat dua klub sepak bola yang saling bersaing dan bahkan bermusuhan, yakni Borussia Dortmund dan Bayern Muenchen. Keduanya saling menginterpretasikan simbol masing masing: Borussia Dortmund melambangkan kelas bawah dan para buruh (orang-orang miskin), sedangkan Bayern Muenchen adalah simbol dari kelas atas atau para bangsawan Jerman (orang-orang kaya), di era awal persaingan kedua rival tersebut. Namun, seiring dengan adanya perkembangan zaman, simbol miskin-kaya tersebut sudah tidak relevan lagi di zaman masa kini. Artinya, semiotika menjadi tidak berlaku dalam hal tersebut karena terjadi pergeseran makna.
2. Fenomenologi
Mengutip pernyataan Morissan[2] mengenai fenomenologi, tradisi tersebut memfokuskan perhatiannya terhadap pengalaman sadar seorang individu. Teori komunikasi yang masuk dalam tradisi fenomenologi berpandangan bahwa manusia secara aktif menginterpretasikan pengalaman mereka, sehingga mereka dapat memahami lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung dengan lingkungan. Tradisi fenomenologi memberikan penekanan sangat kuat pada persepsi dan interpretasi dari pengalaman subyektif manusia. Pendukung teori ini berpandangan bahwa cerita atau pengalaman individu adalah lebih penting dan memiliki otoritas lebih besar daripada hipotesa penelitian sekalipun.
Karena teori fenomenologi ini berdasarkan pengalaman tiap individunya, maka pemikiran subyektif diperlukan dalam pendekatan teori ini. Jadi apabila tiap orang memiliki pengalaman yang berbeda-beda, maka tingkat interpretasinya juga akan berbeda-beda, tergantung daya orang tersebut dalam menginterpretasikan atau menafsirkannya, tingkat pemikiran subyektivitas, dan juga sangat bergantung pada pengalamannya.
Apalagi di teori ini penekanan kepada pengalaman sangat kuat, maka hasil riset atau penelitian menjadi tidak begitu mendapat tempat, begitu menurut saya.
Dari tradisi fenomenologi mengantarkan topik dialog lewat dua konstruk teori. Pertama, konstruk dialog dari Carl Rogers[3]; pemikirannya seriang dikenal sebagai Self Theory di mana yang sangat ditekankan adalah keberadaan dan pengalaman diri sangat penting. Proses dialogis pengalaman diri inilah menentukan peran, dukungan, penolakan, penyelarasan. Rogers menghadirkan sepuluh poin dari selftheory.
Pandangan dari Rogers dianggap terlalu normatif oleh beberapa kalangan. Diri sebagai ruang untuk proses dialogis pengalaman merupakan hanya satu aspek pengalaman fenomenologis, sehingga perhatian Rogers hanya pada diri dianggap terlalu sederhana. Oleh karena itu, pemikiran Rogers ini dikaitkan dengan konstruksi teori lain dari tradisi fenomenologi yaitu Martin Buber. Gagasan dialog dari Martin Buber dikenal dengan I-Thou Relationship. Buber tidak hanya proses dialogis dalam diri tetapi justru menganggap relationship merupakan ruang dialogis pengalaman diri dan orang lain. Dialog antarpengalaman inilah yang menurut Buber menentukan perubahan yang terjadi dalam. Pengalaman yang saling bertukar (dialog) inilah yang memainkan peran pengatur dalam mendengarkan, menghormati, memanipulasi, menghargai perbedaan, mengambil manfaat dari orang lain.
Di era digital seperti ini, teori fenomenologi saya rasa seperti mulai memudar. Dalam artian begini: saya contohkan antara percakapan antara dua orang, yang satu adalah orang yang punya pengalaman pernah ke Prancis, sedangkan satunya lagi belum pernah ke Prancis tetapi sangat paham mengenai Prancis karena ia sering membaca buku dan menonton video mengenai negara tersebut. Saya dapat mengatakan bahwa bisa saja si orang yang tidak pernah datang ke Prancis ini justru lebih mengerti tentang negara yang terdapat menara Eiffel tersebut daripada orang satu lagi yang pernah berkunjung ke sana. Dari sini dapat dikatakan bahwa pengalaman langsung menjadi tidak berarti, ketika dihadapkan pada zaman sekarang, di mana era digital semakin menguasai peradaban dan untuk mendapatkan informasi tidak harus datang langsung tetapi cukup melalui internet untuk mendapatkan pengalamannya.
3. Sibernetika
Komunikasi dipahami sebagai kegiatan pemrosesan informasi, dan persoalan-persoalan yang dihadapi dikaitkan dengan noise, overload, dan malfunction[4]. Tradisi sibernetika menjadi gagasan yang bisa diterima secara logis ketika muncul isu-isu yang berkaitan dengan pikiran, rasionalitas, dan sistem yang kompleks. Secara umum, tradisi ini menentang argumen-argumen yang membuat perbedaan antara mesin dengan manusia atau mengasumsikan hubungan liner sebab-akibat.
Sibernetika merupakan tradisi yang membahas mengenai suatu sistem yang kompleks di mana berbagai elemen yang terdapat dalamnya saling berinteraksi dan saling memengaruhi. Ide penting dari teori ini adalah sifatnya yang utuh atau koheren dan konsisten serta mampu memberikan dampak besar dalam banyak bidang kehidupan manusia termasuk dalam komunikasi. Pikiran dan kehidupan sosial manusia dapat dipelajari dengan mudah dengan menggunakan teori sistem ini.
Namun demikian, karena teori sibernetika ini melibatkan banyak orang karena berfokus pada sistem, maka di dalam kondisi seperti sekarang ini, ketika perilaku sosial manusia dibatasi (social distancing, physical distancing) dikarenakan pandemi Covid-19 yang tengah menghantui, teori tersebut akan susah digunakan dan diterapkan. Kalaupun akan digunakan teori tersebut untuk meneliti suatu sistem sosial misalnya, maka pada pelaksanaannya akan kesulitan, karena melibatkan sistem atau orang banyak. Akan berbeda jika teori ini hanya berfokus pada satu individu saja.
Sibernetika merupakan tradisi yang membahas mengenai suatu sistem yang kompleks di mana berbagai elemen yang terdapat dalamnya saling berinteraksi dan saling memengaruhi. Ide penting dari teori ini adalah sifatnya yang utuh atau koheren dan konsisten serta mampu memberikan dampak besar dalam banyak bidang kehidupan manusia termasuk dalam komunikasi. Pikiran dan kehidupan sosial manusia dapat dipelajari dengan mudah dengan menggunakan teori sistem ini.
Namun demikian, karena teori sibernetika ini melibatkan banyak orang karena berfokus pada sistem, maka di dalam kondisi seperti sekarang ini, ketika perilaku sosial manusia dibatasi (social distancing, physical distancing) dikarenakan pandemi Covid-19 yang tengah menghantui, teori tersebut akan susah digunakan dan diterapkan. Kalaupun akan digunakan teori tersebut untuk meneliti suatu sistem sosial misalnya, maka pada pelaksanaannya akan kesulitan, karena melibatkan sistem atau orang banyak. Akan berbeda jika teori ini hanya berfokus pada satu individu saja.
4. Sosiopsikologi
Sosiopsikologi adalah tradisi komunikasi yang berfokus pada peran manusia sebagai mahluk sosial. Teori komunikasi dalam sosiopsikologi merupakan teori yang mengedepankan perilaku sosial individu, variabel psikologis, efek individu, kepribadian, sifat, dan persepsi.
Carl Hovland dari Universitas Yale menjelaskan mengenai adanya hubungan antara rangsangan komunikasi, kecenderungan audiens dan perubahan pemikiran dan untuk menyediakan sebuah kerangka awal untuk mendasari teori.
Teori sosiopsikologi ini memusatkan perhatian pada aspek-aspek komunikasi yang mencakup ekspresi, interaksi, dan pengaruh. Wacana dan tradisi ini menekankan pada perilaku, variabel, efek, kepribadian, dan sifat, persepsi, kognisi, sikap, dan interaksi. Sosiopsikologi menjadi tradisi pemikiran yang kuat, khususnya dalam situasi di mana kepribadian menjadi penting, penilaian menjadi bias oleh keyakinan dan perasaan, dan orang memiliki pengaruh yang nyata satu sama lain. Tradisi sosiopsikologi menentang pandangan bahwa orang bersikap rasional, individu-individu mengetahui apa yang mereka pikirkan, dan persepsi merupakan jalur yang jelas untuk melihat apa yang nyata.
Menurut saya, ada kelemahan dalam teori. Mengapa? Karena teori ini menggunakan pendekatan psikologi, sehingga hanya mempelajari bagian yang tidak terlihat saja, seperti kepribadian individu. Sehingga ketika kita mempelajari suatu kasus menggunakan pendekatan teori ini, maka harus benar-benar melihat dan tahu akan kepribadian orang lain, dan percuma saja jika kita hanya mendapatkan variabel fisik saja, seperti misalnya hanya mendapatkan data berupa fisik.
*Catatan: Tulisan ini awalnya adalah tugas kuliah Teori Komunikasi. Mengutip dari berbagai sumber (tertera) dan kini dipublikasikan, bukan untuk komersial.
Carl Hovland dari Universitas Yale menjelaskan mengenai adanya hubungan antara rangsangan komunikasi, kecenderungan audiens dan perubahan pemikiran dan untuk menyediakan sebuah kerangka awal untuk mendasari teori.
Teori sosiopsikologi ini memusatkan perhatian pada aspek-aspek komunikasi yang mencakup ekspresi, interaksi, dan pengaruh. Wacana dan tradisi ini menekankan pada perilaku, variabel, efek, kepribadian, dan sifat, persepsi, kognisi, sikap, dan interaksi. Sosiopsikologi menjadi tradisi pemikiran yang kuat, khususnya dalam situasi di mana kepribadian menjadi penting, penilaian menjadi bias oleh keyakinan dan perasaan, dan orang memiliki pengaruh yang nyata satu sama lain. Tradisi sosiopsikologi menentang pandangan bahwa orang bersikap rasional, individu-individu mengetahui apa yang mereka pikirkan, dan persepsi merupakan jalur yang jelas untuk melihat apa yang nyata.
Menurut saya, ada kelemahan dalam teori. Mengapa? Karena teori ini menggunakan pendekatan psikologi, sehingga hanya mempelajari bagian yang tidak terlihat saja, seperti kepribadian individu. Sehingga ketika kita mempelajari suatu kasus menggunakan pendekatan teori ini, maka harus benar-benar melihat dan tahu akan kepribadian orang lain, dan percuma saja jika kita hanya mendapatkan variabel fisik saja, seperti misalnya hanya mendapatkan data berupa fisik.
*Catatan: Tulisan ini awalnya adalah tugas kuliah Teori Komunikasi. Mengutip dari berbagai sumber (tertera) dan kini dipublikasikan, bukan untuk komersial.
Komentar
Posting Komentar
Silakan beri komentar, saran, atau kritik