Bosan Terhadap Kebosanan Hidup

 

Pixabay/Pitsch

“Setelah ini kamu pasti akan mengatakan ini,” ucap seseorang kepada saya suatu ketika, “Lalu melakukan itu,” lanjutnya. Ia mengatakan dengan nada bercanda sekaligus serius. Entah saya yang kebingungan menafsirkan ucapannya, atau memang teman saya memang mengkritik. 


Memang benar apa yang dikatakannya itu. Lidah saya menjadi kelu ketika mendengarnya. Otot lidah saya memang hendak mengatakan kalimat yang dimaksudkan teman saya itu. Lalu, saya akan melakukan hal sama persis seperti yang dikatakannya. Hanya saja, begitu mendengarnya, otak dan syaraf membatalkannya. 


“Itu berulang-ulang, dan membosankan.” Kali ini, kalimatnya pendek dan lebih menusuk. 


Kalimat tersebut terus terngiang dan menjadi bahan perenungan berhari-hari. Lebih buruknya lagi, saya jadi terafirmasi secara negatif dan benar-benar mengalami kebosanan dalam hal apapun setelahnya: bekerja terasa membosankan, menonton film rasanya biasa saja, mendengarkan musik kok terasa jenuh, membaca buku jadi tidak menyenangkan, bahkan untuk sekadar tidur atau rebahan pun jadi tidak betah. Parahnya lagi, pikiran ‘kok rasanya hambar gini doang, sih’ pun ikut tercipta di saat sedang melakukan rutinitas harian mengisi perut. 


Saya jadi teringat waktu kecil pernah membaca manga dalam majalah komik Shonen Star, saya lupa judulnya. Di dalam ceritanya, ada seorang karakter yang dihukum hidup dalam kebosanan selamanya.  Kala itu, hukuman seperti itu bagi saya terdengar biasa saja dan malah terkesan konyol. Di masa kini, saya seolah mengalaminya sendiri. Dan rasanya ini lebih menyiksa daripada jari kelingking kaki tak sengaja menendang sudut meja. 


Saking kepikirannya, dengan rasa bosan dan malas yang menggelayuti jari, saya coba mengetik di internet tentang apa itu kebosanan. Merdeka.com dalam artikelnya mengutip dari Psychology Today menjelaskan bahwa  kebosanan mirip dengan kelelahan mental dan disebabkan oleh pengulangan dan kurangnya minat pada detail tugas kita. Penyebab bosan ini dikarenakan pikiran yang monoton dan tidak melakukan kegiatan lain yang bisa menjadi selingan.


Pengalaman apa pun yang dapat diprediksi dan berulang menjadi membosankan. Secara umum, terlalu banyak hal yang sama dan terlalu sedikit stimulasi dapat menyebabkan korbannya tidak memiliki keinginan dan perasaan merasa terperangkap.    


Korban. Ya, di paragraf sebelum ini ada kata korban. Saya jadi korban? Luar biasa memang, hanya karena bosan kemudian saya jadi korban. Mundur lagi ke alinea sebelumnya, di situ dikatakan kebosanan sama seperti kelelahan mental. Kena mental, bos, kata-kata yang selama ini saya dengar di Tiktok atau Instagram, ternyata turut terjadi pada orang yang tidak diduga-duga, yaitu saya sendiri. 


Masih di artikel yang sama, saya membaca kalimat-kalimat seperti ini:


Dalam banyak hal, kebosanan adalah kemewahan modern menurut Spacks, 1996. Kebosanan secara harfiah tidak ada sampai akhir abad ke-18. Kondisi itu muncul ketika Abad Pencerahan memberi jalan kepada Revolusi Industri. Di awal sejarah manusia, ketika nenek moyang kita harus menghabiskan sebagian besar hari mereka untuk mendapatkan makanan dan tempat tinggal, kebosanan bukanlah pilihan.


Kebosanan juga ada manfaatnya. Penting untuk melihat kebosanan sebagai “ajakan bertindak”, kata Svendsen, 1999. Nietzsche menyarankan bahwa laki-laki dengan sensibilitas langka menghargai kebosanan sebagai pendorong pencapaian.


Kebosanan bisa menjadi katalisator untuk bertindak. Ini dapat memberikan kesempatan untuk berpikir dan merenung. Ini juga bisa menjadi tanda bahwa tugas hanya membuang-buang waktu dan karenanya tidak layak dilanjutkan.


Antara makin bingung atau sedikit tercerahkan. Tiga paragraf ini lebih menggugah, meski tidak secara langsung menaikkan mood. Kebosanan itu kemewahan, begitu kata Spacks. Saya harap, Spacks bukan seperti selebgram-selebtwit Indra Kenz, yang mengatakan bahwa kemiskinan adalah privilese (Mas Indra Kenz, saya terlahir miskin tapi saya benci ini). Sejauh yang saya tahu, memang Spacks tidak pernah dipidanakan dan terancam dimiskinkan seperti Indra Kenz, yang bermasalah terkait investasi bodong, jadi ya saya nurut saja dengan Pak Spacks PM, yang belakangan saya tahu artikelnya berjudul Boredom: The Literary History of A State of Mind (The University of Chicago Press, 1996) .


Dan karena saya suka Friedrich Nietzsche, meski tak banyak paham tentang pemikirannya, maka saya sependapat dengan saran beliau bahwa laki-laki dengan sensibilitas langka menghargai kebosanan sebagai pendorong pencapaian.


Semoga saja, saya tidak bosan hidup. Saya coba berdoa kepada Tuhan, agar saya bosan terhadap kebosanan hidup ini.

Komentar

ARTIKEL MENARIK LAINNYA:

Pet Sematary: Kadang Kematian Memang Lebih Baik

Piala Dunia dan Idul Fitri: Sukacita Perayaan Ganda

Akhir Kisah Ajax nan Romantis: Dramatis Sekaligus Tragis