The Batman: Wajah Busuk Gotham Adalah Wajah Kita Juga

 

Bruce Wayne, diperankan oleh Robert Pattinson (Kredit: Dccomics.com)


Temaram, suram, sekaligus muram. Tiga kata tersebut gambaran saya untuk film The Batman, yang kali ini sang night crusader diperankan oleh Robert Pattinson, dan kini tengah tayang di bioskop dan menjadi trending di jagat maya, baik di Indonesia maupun belahan dunia lainnya. Sebagai pembaca atau penonton, tentunya kita akan mewajarkan hal tersebut, karena tentu saja ini adalah film DC, yang selalu identik dengan tone gelap di setiap filmnya. 


Ketika masuk bioskop, saya tidak berekspektasi lebih pada nuansa gelap itu tadi. Saya kira, bakal sama seperti film-film DC atau film Batman lainnya. Gelap. Tapi ini gelapnya berbeda. Lebih mencekam. Atau jangan-jangan, pikiran saya yang terlampau ikut gelap sebagaimana cerita saya beberapa waktu lalu


Kali ini, di sepanjang film The Batman, saya benar-benar menikmati kegelapan abadi: hampir selalu scene malam hari, plus hujan yang selalu membasuh permukaan kota Gotham, dan juga setiap sudut kota yang minim penerangan nan kumuh–mengingatkan saya pada negara ini–plus dengan perilaku moral juga ‘gelap’: penuh para bajingan korup di mana-mana, mulai dari polisi hingga penegak hukum–lagi-lagi, mengingatkan saya pada negara ini, maaf–yang disuap oleh para mafia kota Gotham dalam kesehariannya, demi pemuas nafsu dirinya dan keluarganya.


Sutradara Matt Reeves membuka film dengan adegan keluarga kecil yang terdiri dari anak lelaki, ayah, dan ibu, yang tengah asik bercengkerama. Tampak keluarga yang bahagia. Kehangatan keluarga berpakaian perlente, yang berlangsung di rumah mewah pinggir jalan, apa yang kita pikirkan dan tebak pertama kali tentu saja: keluarga Wayne. Apalagi selama ini film Batman selalu menggunakan adegan masa kecil Bruce Wayne untuk mewarnai cerita. Jawabannya tergantung dari angle pengambilan gambar. Karena di adegan ini seolah ada yang mengawasi keluarga tersebut. Tebakan saya pun keliru, karena itu adalah keluarga Don Mitchell Jr, sang walikota Gotham. 


Adegan awal yang, menurut saya, begitu apik sekaligus mencekam. Di salah satu ruangan rumah walikota Gotham itu, si pengawas tadi yang dengan diiringi suara nafas berat, ternyata merupakan The Riddler (Paul Dano), dan sudah masuk ruangan tanpa ketahuan. Yah, karena The Riddler adalah villain, sudah tahu lah ya, seperti apa lanjutannya. Ya, si walikota dibunuh, secara sadis. Di sini, seolah saya merasakan langsung kengerian berada satu ruang dengan The Riddler. Suasana gelap yang diarahkan Matt Reeves benar-benar membuat jiwa penonton ikut terbawa ke dalam film. Apalagi lagu Ave Maria benar-benar juga ikut masuk ke dalam pikiran penonton. 


Setelahnya, polisi pasti berdatangan. Dan namanya juga film Batman, sudah pasti ada perwira polisi Jim Gordon (Jeffrey Wright) yang datang, dan Batman pun juga masuk ke TKP dengan diikuti tatapan mata seluruh polisi yang hadir. Ini menjadi awkward moment tersendiri. Kemudian baru terlihat mayat walikota Gotham yang kepalanya dilakban dan ditulisi “No More Lies” oleh The Riddler. Ibu jari walikota juga dipotong, dan rekan Jim Gordon pun berkelakar bahwa mungkin ini dikoleksi oleh pembunuh, yang saat itu belum diketahui siapa pelakunya, pun dengan maksud tulisannya. 


The Riddler juga meninggalkan teka-teki, khusus ditujukan untuk Batman. Meski pada akhirnya diusir dari TKP, Batman ternyata sudah merekam semuanya melalui kamera berwujud lensa kontak yang dipakainya. Wow, canggih juga teknologi Batman di awal kariernya, yang diceritakan baru dua tahun ‘menjabat’ sebagai Batman. Wajar, ini memang berlatar waktu di masa kini, karena ponsel yang dipakai pun ponsel masa sekarang. 


Pada lanjutan ceritanya, baru diketahui bahwa maksud ibu jari walikota Mitchell dipotong ialah bagian dari teka-teki The Riddler, di mana itu mengarah pada diska milik walikota, yang harus dibuka dengan sidik jari jempol Mitchell. Karena bagian dari teka-teki, tentu saja diska atau flashdisk ini berisi data penting berupa rahasia kotor sang walikota, juga pejabat lainnya, yang tenyata korup dan bekerja sama dengan para mafia.


Pembunuhan dan teror tak berhenti di situ. Kepala polisi yang mengusir Batman di TKP kemudian diketahui tewas di hari berikutnya. Sama seperti sebelumnya, terdapat teka-teki untuk Batman. Selanjutnya pun begitu, penuh teka-teki. Di film ini, peran Batman sangat terlihat hebat sebagai detektif. Berbeda dengan film Batman lainnya. Barangkali, jika sutradaranya masih Ben Affleck seperti rencana sebelumnya, detail dan alur seperti ini tidak akan masuk ke dalam cerita.


Selanjutnya, Batman berkolaborasi dengan kompak bersama Jim Gordon. Selain itu, Batman juga bekerja sama dengan Selina Kyle alias Catwoman (Zoe Kravitz), dalam mengungkap teka-teki The Riddler, serta menguak siapa The Riddler ini dan kemudian menangkapnya. 


Saya sebetulnya belum bisa move on dengan kedua rekan Batman itu. Maksudnya, kepada pemerannya. Saya masih merasa cocok kalau Anne Hathaway berperan sebagai Selina Kyle, atau juga Komisaris Gordon yang diperankan oleh Gary Oldman. Namun, lagi-lagi, pemilihan castingnya sangat tepat, karena keduanya sangat oke dalam memainkan perannya. Sama seperti pemilihan Cedric Diggory, Edward Cullen, serta penjaga mercusuar Ephraim Winslow sebagai karakter utama. 


Ketiganya bekerja sama, meski antara Jim Gordon dengan Catwoman tidak secara langsung, untuk menangkap The Riddler. Sementara, Catwoman punya misi khusus untuk mencari sahabatnya, Annika Kosolov. Sahabat Selina Kyle ini kemudian ditemukan tewas dan mayatnya ditemukan di dalam mobil pengawal Penguin, ketika Selina membuntuti Penguin (Colin Farrell, jangan kaget jika Anda tidak mengenali sosoknya dalam karakter Penguin ini) ke tempat pengolahan narkoba miliknya (atau milik Salvatore Maroni yang diambil alih).


Nah, ketika di scene inilah, yang menurut saya paling apik sekaligus epik. Batman dan Gordon sebenarnya bergerak sendiri menguntit Penguin, tapi kemudian Catwoman pun juga datang yang membuat Batman harus mengatakan bahwa hal tersebut membuat semakin rumit. Momen yang saya maksud menarik, adalah ketika Batman dan Catwoman ketahuan oleh Penguin dan anak buahnya. Ketika itu Catwoman bukan hanya berniat mencari keberadaan Annika, tapi juga mencuri uang Penguin, bosnya di tempatnya bekerja. Di saat itulah terjadi baku tembak, dan… tiba-tiba suara menggelegar memecah teater yang juga gelap. Itu adalah ketika Batman menyalakan Batmobile-nya hendak menyelamatkan Catwoman yang sudah terpojok ketika baku tembak dengan anak buah Penguin. 


Semua terdiam. Semua pasang mata tertuju pada sumber suara plus cahaya di mobil Batman tersebut. Salut kepada skoring musiknya. Ini luar biasa. Terima kasih, Pak Michael Giacchino.


Adegan berikutnya tak kalah menarik, ketika Batman kejar-kejaran dengan Penguin setelahnya, untuk menangkap pria bernama asli Oswald ‘Oz’ Cobblepot itu. Karena ia yakin Penguin adalah informan sebagaimana dalam teka-teki yang dipecahkan oleh Batman, dan dengan bantuan Alfred Pennyworth (Andy Serkis) yang tampil cerdas kali ini.


Alfred Pennyworth sendiri, seperti biasa, pelayan setia Bruce Wayne yang tidak terlalu banyak mendapat jam tampil. Kali ini, ia memang begitu, namun ia dapat peran lebih besar dalam memecahkan teka-teki The Riddler. Di The Batman, ia pun juga mendapat nasib yang tragis, karena dia korban salah sasaran dari The Riddler, yang mengirimkan bom dalam paket pos yang ditujukan kepada Bruce Wayne. Ternyata, Bruce Wayne pun diincar oleh The Riddler, karena ayahnya, Thomas Wayne, adalah pemrakarsa program Pembaruan (The Renewal) ketika dulu mencalonkan diri sebagai walikota Gotham, sebelum akhirnya terbunuh bersama istrinya, Martha Wayne. 


Di fakta ini juga, The Riddler memberi tayangan langsung kepada Batman dan juga Jim Gordon ketika mencoba mengungkap dan mengejar The Riddler di bangunan tua peninggalan keluarga Wayne, bahwa ibunya pernah masuk dalam rumah sakit jiwa Arkham. Namun coba ditutupi oleh ayah Bruce. Fakta yang menurut Bruce sendiri juga ditutupi oleh Alfred kepadanya. Bruce juga menanyakan langsung ke Alfred, dan juga kepada Carmine Falcone, nama yang disebut dalam penjelasan Alfred. Fakta lainnya, di film ini juga diungkap bahwa Carmine Falcone ternyata juga adalah ayah dari Selina Kyle alias Catwoman.


Sebelum film ini ditayangkan di bioskop, menurut berita, ini adalah film tentang awal Bruce Wayne ‘berkarier’ sebagai Batman. Loh, kan sudah ada Batman Begins, begitu pikir saya. Nyatanya, pikiran saya lagi-lagi dibenturkan dengan kehebatan Matt Reeves. Sutradara yang pernah menggarap proyek film Dawn of the Planet of Apes dan War of the Planet of Apes ini menyuguhkan Batman, yang mewakili nuansa gelap lagi, sebagai vigilante yang pemarah, brutal, dan pembalas dendam. Batman selalu menjawab “I’m vengeance” ketika ditanya tentang dirinya. Hal ini yang tidak saya lihat dalam diri Batman versi Michael Keaton, Christian Bale, hingga Ben Affleck. Hanya saja tetap masih konsisten dengan prinsip “tidak pakai senjata api” atau “tidak membunuh” ala Batman. Dalam hal ini saya mesti berterima kasih kepada Reeves, meski ia tak akan mungkin membaca blog saya ini. 


Setiap film pasti ada kekurangan. Makanya, penilaian seperti di website Rotten Tomatoes pun tidak pernah seratus persen sempurna. Pasti ada saja kritikus film, bahkan dari sudut pandang awam. Saya sendiri, dari awal meragukan dan mencemooh kostum Batman. Terlihat kuno di era kiwari. Nyatanya, batsuit ini malah lebih canggih dari film-film sebelumnya. Tapi tetap saja, saya lebih suka gaya dan simbol milik Batfleck. 


Membicarakan kekurangan orang lain sih gampang. Begitu komentar seseorang di akun twitter salah satu influencer. Maka, saya juga akan membicarakan kelebihan film The Batman, versi saya sendiri tentunya. The Batman dari tadi sudah saya sebutkan kelebihannya. Dan rasanya naif jika membandingkan dengan film Batman lainnya, terutama versi trilogi Christopher Nolan. 


Di film ini, saya suka dengan karakter Alfred Pennyworth. Karena saya tidak mengikuti komiknya, akhirnya saya tahu bahwa Alfred adalah mantan intelijen militer, sebagaimana ia akui. Pemilihan Andy Serkis sangat tepat. Padahal wajahnya yang garang dan bengis lebih pas jika ia jadi penjahat, sama seperti ketika di film Black Panther. Tapi di The Batman, ia cukup lihai menjadi mantan militer, yang meski pincang kakinya, tapi bisa menyelesaikan teka-teki dengan baik.  


Selain soal Colin Farrell yang tampil berbeda ketika memerankan Penguin. Saya tertegun juga dengan sosok The Riddler yang diperankan Paul Dano. Sosok The Riddler saya hanya tahu bahwa ia mengenakan kostum hijau dan mengenakan penutup mata, dan tentu saja dengan simbol tanda tanyanya. Di sini sungguh berbeda. The Riddler terlihat dingin tapi mengerikan dan kejam. Memang, kostumnya masih hijau, tapi kali ini dia menggunakan jaket, bukan kostum nyeleneh. Plus dengan penutup muka dan kacamata yang menutupi mata sinisnya, The Riddler tampil beda ketika ia tertangkap. Saya sempat bergumam, hanya seperti ini tampilan The Riddler yang sadis tadi. Seolah, tidak ada seram-seramnya, apalagi dengan gaya rambut yang lucu dan berkacamata serta wajah baby-face Paul Dano ketika dia ditangkap, memang sengaja ditangkap, karena kemudian di dalam penjara pun ternyata sudah merencanakan hal buruk untuk kehancuran Gotham.


Selain itu, soal suara, Batman masih memakai suara asli dalam alter egonya. Jika Jim Gordon terbiasa ngopi bareng Bruce Wayne, saya yakin ia dengan mudah menyimpulkan bahwa Batman ialah Bruce Wayne. Saya suka suara Batman ketika menginterogasi Joker dalam The Dark Knight, atau ketika di Justice League dan ketika menghadapi Superman di Batman vs Superman. Suaranya lebih garang dan manipulatif sekaligus intimidatif. Cocok untuk menakuti penjahat kelas teri di kota Gotham. Kecuali kalau Joker atau Bane, wah, ga bakalan terpengaruh, deh


Meski terkesan muram dan tanpa unsur komedi, karena nyatanya, masih menurut saya karena ini blog saya, tetap terselip hal lucu di dalam film. Momen deja vu ketika Batman masuk ke klub milik Penguin serta di waktu lain Bruce Wayne masuk di tempat yang sama, seolah seperti komedi. Momen pertama dan kedua dengan orang yang benar-benar sama, namun dengan reaksi yang (sebenarnya hampir sama, namun) berbeda oleh si kembar penjaga pintu masuk klub. Karena serba gelap, barangkali inilah yang disebut sebagai dark jokes atau mungkin Dex Jokes (buat pendengar podcast Box2Box pasti terbiasa kesal dengan guyonan ala Dex Glenniza). 


Yang bikin saya terbawa suasana adalah kebusukan kota Gotam, sebagaimana saya tuliskan di paragraf-paragraf awal tadi. Dari tampilan paling awal pun terkesan gelap. Bukan hanya di satu tempat, tapi di segala penjuru. Di setiap adegan berikutnya selalu menampilkan kesan gelap, menjijikkan, kumuh, korup, dan banyak kriminalitas. 


Di dalam kereta dan stasiun saja membuat saya berpikir dan bertanya, “Amerika Serikat beneran seperti ini? Kok mirip Indonesia?” Kereta terlihat penuh coretan di setiap gerbongnya, mirip tempat-tempat di Indonesia. Bahkan kendaraan umum di Indonesia pun pernah separah itu, tidak nyaman dilihat. Di stasiun ketika Batman pertama kali muncul pun sama. Lagi-lagi kumuh, kotor, dan gelap. Ini mengingatkan pada jembatan penyeberangan orang (JPO) di Jakarta. Ingatan saya jauh mundur ke tahun 2015 akhir, ketika terjadi pemerkosaan di salah satu JPO di Jakarta, yang kemudian korban dibunuh juga. 


Belum lagi perilaku polisi hingga penegak keadilannya. Para bajingan fiktif Gotham itu sama dengan para keparat di Indonesia. Pejabat yang korup, mulut yang penuh suap rupiah dari pemilik kepentingan, oknum polisi yang menjadi bagian dari mafia narkoba. Sangat persis di Indonesia.  Dan ini sudah terjadi dari masa ke masa. Benar kata Selina Kyle, pelaku kejahatan tidak akan berhenti ketika ada pelaku kejahatan lain yang ditumpas, tapi justru jadi ajang untuk menguasai agar ia jadi raja bajingan yang baru. 


Dan saya pikir, lebih cocok Indonesia yang dijadikan tempat syuting The Batman. Minimal nanti di sekuel The Batman. Tolong ya, Pak Matt Reeves. 


Atau, tolong Batman juga membasmi para keparat itu di Indonesia.

Komentar

ARTIKEL MENARIK LAINNYA:

Pet Sematary: Kadang Kematian Memang Lebih Baik

Piala Dunia dan Idul Fitri: Sukacita Perayaan Ganda

Akhir Kisah Ajax nan Romantis: Dramatis Sekaligus Tragis