Ironi Mbappe, Keajaiban Enrique: PSG Akhirnya jadi Raja Eropa!
Paris Saint-Germain (PSG) akhirnya berhasil merengkuh trofi Liga Champions untuk pertama kalinya dalam sejarah klub. Kemenangan telak 5-0 atas Inter Milan di final musim 2024/2025 yang digelar di Allianz Arena, Munich, pada Minggu (1/6/2025) dini hari WIB, bukan hanya sekadar angka, melainkan sebuah penegasan ambisi dan perjalanan luar biasa yang penuh liku, mengukuhkan status mereka sebagai kekuatan baru di kancah sepak bola Eropa.
Final Liga Champions 2024/2025 menjadi panggung pembuktian bagi Les Parisiens. Menghadapi Inter Milan, tim yang dikenal dengan pertahanan catenaccio modern racikan Simone Inzaghi, PSG justru tampil menggila, seolah tak terbebani ekspektasi besar yang selama ini menghantui mereka. Allianz Arena, yang dalam final ini dikenal sebagai Munich Football Arena, menjadi saksi bisu bagaimana taktik bertahan Inter yang biasanya begitu rapat dan disiplin, luluh lantak oleh gelombang serangan PSG yang cepat dan taktis. Gol-gol dari Achraf Hakimi (12’) yang memanfaatkan kecepatannya, dwigol Desire Doue (20’, 63’) yang menunjukkan ketenangan luar biasa di depan gawang, sepakan melengkung Khvicha Kvaratskheila (73’), dan ditutup oleh pemain muda potensial Senny Mayulu (86’) memastikan Si Kuping Besar terbang ke Paris, disambut lautan manusia yang berpesta di Champs-Élysées.
Pencapaian ini terasa semakin istimewa, bahkan heroik, jika melihat perjalanan PSG musim ini. Dengan format baru Liga Champions yang lebih menantang dan kompetitif, performa PSG di fase grup jauh dari kata meyakinkan; mereka benar-benar terseok-seok. Bayangkan saja, mereka hanya mampu mengamankan 2 kemenangan tipis, dipaksa berbagi angka dalam 1 hasil imbang, dan menelan 3 kekalahan pahit yang memicu kritik tajam dari berbagai penjuru. Kondisi ini memaksa mereka melalui babak play-off yang menegangkan untuk bisa melaju ke fase gugur, sebuah jalur yang tidak diharapkan oleh tim sekaliber PSG.
Dari titik terendah itulah keajaiban mulai dirajut. Mereka secara mengejutkan, namun meyakinkan, menumbangkan Liverpool, sang juara bertahan Liga Inggris 2024/2025 sekaligus pemuncak klasemen superior di fase liga UCL musim ini. Kemenangan itu seolah menjadi titik balik, membangkitkan kepercayaan diri yang sempat goyah. Tak berhenti di situ, Arsenal, tim yang tampil impresif sepanjang musim dan digadang-gadang sebagai calon kuat juara, pun berhasil mereka singkirkan dengan agregat 3-1, dengan dua kemenangan solid di London dan di Paris. Sebuah alur cerita yang bahkan penulis skenario terbaik pun akan kesulitan merancangnya, penuh drama dan ketidakpastian, sulit ditebak oleh insan sepak bola.
Pelatih PSG, Luis Enrique, tak bisa menyembunyikan kebahagiaan dan kelegaannya. Ia memuji Inter Milan sebagai lawan yang tangguh dan berkelas, namun menggarisbawahi penampilan fantastis dan mentalitas juara yang ditunjukkan timnya. Luis Enrique dalam wawancaranya bersama Sky Sports, suaranya serak oleh emosi. Ia mengatakan bahwa persiapan matang, analisis detail terhadap lawan, dan intensitas tinggi yang terjaga sepanjang 90 menit menjadi kunci kemenangan bersejarah ini. Pria yang dijuluki El Lucho tersebut melakukannya untuk pertama kalinya buat kota Paris, untuk para pendukung yang tak pernah lelah percaya, sambil senyum lebar tak lepas dari wajahnya selama interview.
Namun, di balik euforia kemenangan dan gemerlap trofi, ada momen emosional yang begitu mendalam dan menyentuh hati, melampaui batas-batas olahraga. Luis Enrique tak kuasa menahan air mata ketika, di tengah riuh rendah perayaan, para pendukung PSG membentangkan spanduk raksasa bergambar mendiang putrinya, Xana. Putrinya itu, yang meninggal dunia pada 2019 akibat kanker tulang di usia sembilan tahun, seolah hadir memberikan restu dan senyuman dari atas. Spanduk itu, dengan gambar Xana yang tengah tersenyum lembut sembari seolah melihat sang ayah menancapkan bendera PSG di tengah lapangan hijau Allianz Arena, menjadi simbol cinta abadi dan kekuatan keluarga. Sebuah penghormatan yang tulus dan menyentuh, menunjukkan betapa dalamnya ikatan antara pelatih, klub, dan para penggemar. Momen ini menjadi pengingat bahwa sepak bola, dengan segala dramanya, bukan hanya tentang kemenangan dan kekalahan, tetapi juga tentang kemanusiaan, empati, dan kenangan yang tak lekang oleh waktu.
Ucapan selamat pun mengalir deras dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari mantan bintang mereka yang paling bersinar, Kylian Mbappe. Melalui unggahan di Instagram Story-nya, Mbappe yang kini berseragam Real Madrid menulis, "Hari besar akhirnya tiba. Kemenangan dan dengan gaya klub. Selamat PSG. Ici c'est Paris!" Pesan singkat namun sarat makna ini, disertai emoji hati berwarna biru dan merah, menunjukkan rasa hormat dan cintanya yang tak luntur pada klub yang telah membesarkan namanya dan memberinya panggung dunia.
Namun, tak bisa dipungkiri, situasi ini menghadirkan ironi yang cukup tajam dan mungkin sedikit getir bagi Mbappe secara pribadi. Kepindahannya ke Real Madrid musim panas lalu, sebuah saga transfer yang menyita perhatian dunia, didasari ambisi besar untuk segera meraih trofi Liga Champions, sesuatu yang belum berhasil ia raih bersama PSG, termasuk kegagalan menyakitkan di final 2020 melawan Bayern Munich.
Kini, di musim pertamanya tanpa sang megabintang, PSG justru berhasil mencapai puncak Eropa. Sementara itu, Real Madrid, yang musim sebelumnya adalah kampiun dan selalu menjadi favorit, secara mengejutkan tersingkir di babak perempat final oleh Arsenal dengan agregat telak 5-1, sebuah hasil yang tentu jauh dari ekspektasi.
Membayangkan diri sebagai Mbappe, ini pasti sebuah perasaan yang sangat kompleks, campur aduk antara bangga dan mungkin sedikit nelangsa. Ada kebanggaan tulus melihat mantan klubnya, tempat ia tumbuh dari remaja potensial menjadi superstar global, yang turut menjadi anak tangga yang mengantarnya menaklukkan dunia bersama Prancis, akhirnya meraih sukses bersejarah yang begitu didambakan. Namun, di sisi lain, mungkin ada sedikit rasa sedih, kecewa, atau bahkan secuil penyesalan.
Apakah keputusan meninggalkan Paris pada saat itu sudah tepat? Pertanyaan itu, meski mungkin tak akan pernah ia utarakan secara publik, bisa jadi akan terus menghantuinya dalam beberapa waktu ke depan, meskipun pencapaian individunya di Madrid dengan sumbangan puluhan gol dan asisnya musim ini tetaplah mentereng dan membuktikan kualitasnya sebagai salah satu pemain terbaik dunia.
Pada akhirnya, sepak bola selalu punya cara untuk menyajikan drama, ironi, dan narasi tak terduga yang membuatnya begitu dicintai. Dan kemenangan PSG kali ini adalah salah satu babak terbaiknya, sebuah kisah tentang penantian panjang, perjuangan, dan takdir yang akhirnya berpihak.
Komentar
Posting Komentar
Silakan beri komentar, saran, atau kritik