Seperti Lagu Bernadya, Satu Bulan yang Menghancurkan Inter Milan: Dari Mimpi Treble, Kini Puasa Gelar



"Belum ada satu bulan..." Lantunan melankolis Bernadya dalam lagunya "Satu Bulan" mungkin menjadi soundtrack paling tepat untuk menggambarkan pil pahit yang harus ditelan Inter Milan. Bagaimana tidak? Di awal April 2025, mimpi treble winner membentang luas di hadapan Nerazzurri, sebuah ambisi yang menggetarkan hati para Interisti di seluruh dunia. Harapan untuk mengulang kejayaan masa lalu, bahkan mungkin melampauinya, terasa begitu nyata. Mereka kokoh bersaing meraih Scudetto di Serie A, tampil perkasa di Liga Champions dengan status tim terbaik keempat di Eropa pasca-fase grup, dan masih berpeluang besar di Coppa Italia. Namun, bak kartu domino yang runtuh secara beruntun, satu demi satu harapan itu sirna dalam rentang waktu yang begitu singkat, mengubah euforia menjadi kekecewaan mendalam.


Inter Milan, yang dikenal dengan julukan La Beneamata, sebenarnya menunjukkan konsistensi luar biasa di Liga Italia sepanjang musim, terus bersaing ketat dengan Napoli dalam perburuan Scudetto hingga pekan terakhir. Di kancah Eropa, perjalanan mereka tak kalah mengesankan dan penuh gairah. Mereka berhasil menyelesaikan fase liga sebagai tim terbaik keempat di Eropa, sebuah pencapaian yang menunjukkan kualitas dan kedalaman skuad. Bahkan, di babak perempat final, mereka menyingkirkan raksasa Bayern Muenchen dengan performa yang meyakinkan, dan di semifinal, sebuah pertarungan epik terjadi melawan Barcelona. Total 13 gol tercipta dalam dua leg pertandingan Inter Milan kontra Barcelona, di mana kedua tim menampilkan performa terbaik demi satu tiket ke final Liga Champions. Itu adalah momen-momen yang menjanjikan, seolah treble sudah di depan mata, dengan para penggemar sudah membayangkan parade kemenangan.


Namun, mulai pergantian tahun, nasib baik seolah berpaling secara drastis. Satu demi satu peluang juara Inter hilang gara-gara mereka kolaps di momen-momen krusial. Diawali di Supercoppa Italia pada 6 Januari 2025. I Nerazzurri sudah di ambang menjadi kampiun karena telah memimpin 2-0 atas AC Milan sampai awal babak kedua. Sebuah keunggulan yang seharusnya bisa diamankan dengan nyaman. Akan tetapi, mereka kemudian kebobolan 3 kali dalam selang waktu sekitar 40 menit di sisa babak kedua. Inter berbalik kalah 2-3 dengan Milan mencetak gol penentu kemenangan di menit ke-90+3. Kekalahan menyakitkan ini menjadi pukulan telak pertama yang meruntuhkan mental tim, meninggalkan pertanyaan besar tentang ketahanan psikologis mereka di bawah tekanan.


Sungguh menyakitkan melihat sebuah tim dengan potensi sebesar Inter Milan harus menorehkan catatan kelam seperti ini, sebuah noda yang akan sulit dihapus dari buku sejarah klub. Kekalahan telak 0-5 di Final Liga Champions melawan PSG, Minggu (1/6/2025) dini hari WIB, tidak hanya meruntuhkan mimpi meraih trofi paling bergengsi di Eropa, tetapi juga menyakitkan secara emosional bagi jutaan pendukung Inter di seluruh dunia. Lebih dari sekadar kekalahan, laga ini tercatat sebagai kekalahan paling telak dalam sejarah final kompetisi Eropa. Berdasarkan data Opta, selisih lima gol pada laga ini menjadi yang terbesar dalam final satu leg di ajang-ajang besar Eropa. Ini adalah rekor negatif yang sebelumnya dipegang oleh Barcelona, saat dibantai sanga rival sekota, AC Milan, 0-4 di final tahun 1994. Sebuah ironi yang pahit, mengingat Inter sendiri adalah salah satu tim yang sangat dihormati di kancah Eropa.


Sejak peluit awal berbunyi di Allianz Arena, tanda-tanda kesulitan sudah terlihat jelas di kubu Inter. Mereka tampak gugup dan kurang fokus, sebuah kondisi yang fatal di pertandingan sebesar final Liga Champions. Ironisnya, gol pembuka PSG justru dicetak oleh mantan pemain mereka sendiri, Achraf Hakimi, pada menit ke-12, sebuah gol yang terasa seperti tusukan dari dalam, yang kemudian Hakimi menunjukkan gestur hormatnya dan tidak berselebrasi. Hanya berselang delapan menit, Desire Doue menggandakan keunggulan Les Parisiens dan memperparah kondisi Inter yang tampak kehilangan arah dan kendali permainan sejak babak pertama. Performa Inter di babak pertama benar-benar di bawah standar, jauh dari ekspektasi. Faktor ini membuat Inter kehilangan kendali permainan dan kesulitan mendapatkan momen untuk bangkit, seolah-olah semua rencana taktik yang telah disusun rapi buyar begitu saja.


Alih-alih bangkit di paruh kedua, performa Inter justru semakin menurun, menunjukkan ketidakmampuan mereka untuk merespons tekanan. PSG yang ditangani Luis Enrique tampil sangat dominan, mengeksploitasi setiap celah di pertahanan Inter, dan menambah tiga gol tambahan tanpa balas. Skor 5-0 bertahan hingga peluit panjang dibunyikan, menegaskan keperkasaan wakil Ligue 1 di panggung final dan meninggalkan Inter dalam keadaan hancur lebur.


Kekalahan telak dari PSG, apalagi di final Liga Champions, jelas menjadi pukulan keras untuk Inter, khususnya bagi sang pelatih, Simone Inzaghi. Beredar rumor pelatih asal Italia itu kemungkinan ditendang karena kegagalan Inter meraih satu pun gelar musim ini, setelah juga gagal di Coppa Italia dan kalah saing dalam perburuan Scudetto dengan Napoli. Tekanan dari media dan sebagian tifosi pasti sangat besar, mempertanyakan masa depannya di Giuseppe Meazza.


Namun, terlepas dari hasil pahit musim ini yang tidak berbuah trofi, Simone Inzaghi bisa dibilang telah melakukan pekerjaan yang sangat baik di Inter, bahkan patut diacungi jempol. Ia telah membentuk Inter menjadi tim yang memiliki identitas dan ciri khas bermain yang jelas dengan pakem 3-5-2 andalannya. Di bawah kepemimpinannya, Inter menjelma menjadi salah satu tim paling konsisten di Italia, bahkan dominan di berbagai kompetisi baik lokal maupun kontinental. Ia berhasil mempertahankan level kompetitif tim di papan atas Serie A dan membawa mereka melangkah jauh di Liga Champions, sebuah pencapaian yang tidak bisa diremehkan. Inzaghi telah memberikan warna bagi Inter saat ini dengan ciri khas bermainnya yang atraktif dan efektif.


Kendati demikian, pihak Inter tampaknya masih percaya kepada Inzaghi. Presiden Inter Milan, Beppe Marotta, dengan tegas menyatakan bahwa pihak klub tidak akan memecat Inzaghi pasca kekalahan memalukan dari PSG. Pernyataan Marotta menunjukkan kepercayaan manajemen terhadap proyek jangka panjang Inzaghi. Di luar hasil tersebut, memang ada rumor ia dilirik tim Arab Saudi, khususnya Al-Hilal, yang dilaporkan siap menawarkan gaji fantastis yang bisa menjadikannya salah satu pelatih dengan bayaran tertinggi di dunia. Namun, Inzaghi sendiri telah mengindikasikan bahwa ia bahagia di Inter dan fokus pada pertandingan. Diharapkan musim depan bisa terjadi pertarungan kakak-adik yang menarik di Serie A, dengan Filippo Inzaghi yang berhasil membawa Pisa promosi. Apalagi, Inter masih akan berlaga di Piala Dunia Antarklub bulan Juni ini, sebuah ajang yang bisa menjadi kesempatan untuk mengukir sejarah baru dan sedikit mengobati kekecewaan musim ini.


Meskipun pukulan ini terasa sangat telak dan menyakitkan, keyakinan akan kebangkitan Inter Milan harus tetap membara dan menjadi semangat utama tim. Gelandang Inter Milan, Nicolo Barella, dengan tegas mengatakan timnya akan bangkit kembali setelah menelan kekalahan menyakitkan 0-5 dari Paris Saint-Germain (PSG) dalam laga final Liga Champions. Inter memang hampir mendapatkan treble winner musim ini, sebuah target ambisius yang nyaris terwujud. Namun, dalam satu bulan terakhir, mimpi itu sirna satu per satu: disingkirkan AC Milan pada semifinal Coppa Italia dan dikalahkan Napoli dalam perebutan Scudetto. Di sisi lain, kemenangan dengan selisih gol terbesar di Liga Champions ini membuat PSG meraih trigelar musim ini setelah mereka memenangkan Piala Prancis dan Liga Prancis, sebuah kontras yang tajam.


"Kami selalu bangkit dari kekalahan dan kami selalu mencoba untuk mengangkat diri kami kembali ketika kami jatuh. Hari ini adalah pukulan besar bagi kami, tetapi satu-satunya cara untuk kembali ke performa terbaik kami adalah dengan bekerja keras," kata Nicolo Barella, menunjukkan mentalitas juara yang kuat. Mentalitas ini adalah kunci bagi Inter untuk melewati masa sulit ini. 


Kegagalan adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan, dan bagi tim sebesar Inter, ini harus menjadi bahan bakar untuk bangkit lebih kuat dan lebih bijaksana. Dengan fondasi tim yang sudah kuat di bawah Inzaghi, dukungan dari manajemen, dan semangat para pemain, Nerazzurri memiliki semua yang dibutuhkan untuk kembali bersaing di level tertinggi. Musim depan adalah kesempatan baru untuk membuktikan bahwa mimpi treble yang sempat terlintas bukanlah isapan jempol belaka, melainkan target yang bisa dicapai dengan kerja keras, evaluasi menyeluruh, dan semangat pantang menyerah yang tak pernah padam.

Komentar

ARTIKEL MENARIK LAINNYA:

Pet Sematary: Kadang Kematian Memang Lebih Baik

Piala Dunia dan Idul Fitri: Sukacita Perayaan Ganda

Akhir Kisah Ajax nan Romantis: Dramatis Sekaligus Tragis